Praktik pergundikan banyak dibahas di dalam buku. Mengutip dari Historia.id, hal ini terkait dengan kebiasaan anggota komunitas dagang di kota-kota dagang besar Asia, seperti Malaka dan Ayyythaya.
Di Ayyuthaya khususnya, hal ini sudah lumrah terjadi sejak abad ke-17. Mereka biasanya menunjuk seorang perempuan lokal untuk menemani selama bertugas. Raja Thailand kala itu masih mengizinkan selagi para pedagang menerapkan aturan sesuai daerah asal masing-masing, mulai dari Gujarat, Jawa, Tiongkok, Coromandel, Pegu, Portugis, Malaka, Belanda, dan Prancis.
Saat Belanda menjajah Indonesia, lelaki kulit putih malah dianjurkan memiliki seorang Nyai agar bisa cepat beradaptasi. Selain sebagai pelayan dan teman tidur, para perempuan tersebut biasanya juga mengajarkan adat, kebiasaan, dan bahasa setempat. Puncak maraknya praktik pergundikan terjadi sekitar tahun 1870, ketika budidaya tanaman ekspor meledak.
Meski dinilai dapat meningkatkan status sosial di kalangan warga lokal, gundik nyatanya mengalami banyak hal yang tidak manusiawi. Mereka rawan mendapat kekerasan seksual dari tuannya. Tak hanya itu, mereka juga dipanggil dengan sebutan yang merendahkan, seperti inlandse huishoudster (pembantu rumah tangga), meubel (perabot), inventarrisstuk (barang inventaris), boek (buku), hingga woordenboek (kamus).