Dalam buku Stranger to These Shores: Race and Ethnic Relations in the United States (2008), Vincent N. Parrillo menyatakan bahwa variasi kultur yang semakin tinggi meningkatkan potensi terjadinya kondisi culture shock dan tidak sedikit orang muda mengalaminya.
Sayangnya, banyak penderita yang tidak menyadari bahwa diri mereka sebenarnya sudah mengalami kondisi culture shock. Hal ini dapat disebabkan ketidaktahuan mereka mengenai gejala-gejala apa saya yang menandakan seseorang mengalami culture shock.
Niam E. K. dalam tulisan ilmiahnya, Koping terhadap Stres pada Mahasiswa Luar Jawa yang Mengalami Culture Shock di Universitas Muhamadiah Surakarta (2009), mengutip rangkaian gejala culture shock berdasarkan penjelasan pakar Guanipa pada 1998, yaitu:
- Merasakan kesedihan, kesepian, dan kelengangan;
- Pikiran terpaku hanya pada sebuah ide yang berkaitan dengan kesehatan;
- Mengalami masalah kesulitan tidur, baik tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit;
- Terjadi perubahan perilaku akibat tekanan emosional;
- Sadar atau tidak menjadi cenderung cepat marah dan enggan membangun hubungan dengan orang lain;
- Sulit move on dengan budaya lama karena terus mengidealkan daerah lama;
- Terjebak dalam kondisi krisis identitas hingga berpotensi kehilangan identitas;
- Berusaha terlalu keras untuk menyerap semua hal yang berkaitan dengan budaya baru secara bersamaan;
- Tidak dapat memecahkan suatu masalah yang sederhana sekalipun;
- Mengalami kepercayaan diri yang menurun;
- Cenderung merasa kekurangan dan kehilangan;
- Mengembangkan stereotip mengenai kultur baru;
- Mengembangkan obsesi tertentu, seperti kebersihan dan sejenis lainnya;
- Merasakan rasa rindu kepada keluarga terus-menerus.
Semua rangkaian gejala culture shock di atas dapat terjadi secara bertahap, semuanya, atau beberapa saja. Akan tetapi, pakar Ward (2001) menjelaskan bahwa kondisi culture shock akan terjadi secara aktif dan tercermin melalui reaksi affective, behavior, dan cognitive.