Animasi khas Jepang alias anime memiliki jalan cerita yang cukup unik. Oleh karena itu, ada saja rumah produksi yang ingin mengadaptasinya ke dalam format live action.
Bukannya lebih baik, adaptasi tersebut justru dianggap memperburuk cerita dengan alasan alur yang terlalu cepat atau karakternya yang dangkal. Penasaran ada apa saja? Lanjut scroll, yuk!
Live action pertama Fullmetal Alchemist ditayangkan oleh Netflix pada 2017. Sayangnya, kesuksesan versi manga-nya tak diikuti oleh versi live action-nya. Penggemar menilai adaptasi ini terlalu memadatkan cerita, sehingga pengembangan karakter para tokohnya kurang terasa.
Meskipun demikian, kelanjutan live action Fullmetal Alchemist akan dirilis dalam waktu dekat. Berdasarkan kabar yang berembus, musim kedua yang berjudul Fullmetal Alchemist The Revenge of Scar, tayang pada 20 Agustus. Sementara itu, musim ketiga yang berjudul Fullmetal Alchemist The Final Alchemy akan tayang 24 September. Akankah ada perubahan yang lebih baik?
Anime Avatar cukup terkenal di Indonesia karena sempat ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta. Namun, live action dari kisah ini justru banjir kritikan dari berbagai pihak. Hampir seluruh aspeknya mendapatkan komentar buruk, mulai dari alur yang terlalu dipadatkan, buruknya akting para pemain, hingga elemen visual lainnya yang dinilai tak sepadan dengan versi animenya. Duh, sayang banget, ya?
Adaptasi karya sudah seharusnya mempertahankan ciri khas yang telah ada. Namun, hal lain terjadi pada live action Death Note. Selain set lokasinya yang berubah, hal serupa terjadi pada peraturan Death Note—bahkan karakter Light Yagami. Bukannya menjadi sosiopat dengan God complex, ia malah menjadi seorang remaja emosional. Hm, harus belajar untuk tidak berekspektasi berlebihan, nih, Bela!
Banyak pihak menilai Ben Ramsey, sang penulis naskah, memperlakukan live action Dragon Ball: Evolution hanya untuk mencari keuntungan. Kekecewaan muncul usai asal-usul Goku dan awal ia menjadi Saiyan tak diperlihatkan. Selain itu, tim produksi juga malah memilih aktor non-asia, Justin Chatwin, untuk memerankan Goku.
Genre horor, thriller, dan sci-fi bergabung dalam Parasyte yang dijadikan dua film live action. Namun, efek khususnya justru membuat penonton bertanya-tanya. Adegan pertarungan manusia dan aliennya pun dianggap buruk.
Selain eksekusinya, versi live action ini kurang dapat menangkap inti dan karakter cerita aslinya. Meskipun demikian, jumlah penonton Parasyte mengungguli film Hollywood Fury, yang pada 2014 tayang bebarengan di bioskop Jepang.
Dalam Gantz yang terdiri dari dua film live action ini, penggambaran karakternya masih dinilai terlalu dangkal. Ekspresi beberapa pemainnya saat bertarung pun masih terasa berlebihan.
Sebagian mengatakan aspek visual dalam live action ini tidak terlalu buruk. Jika ingin lebih terpuaskan, masih ada opsi untuk menonton versi full CGI-nya, ya.
Meski mengangkat tema cerita yang cukup sadis, Devilman Crybaby merupakan salah satu anime yang digemari di Jepang. Pada 2004, muncul versi live action berjudul Devilman untuk cerita ini.
Sayangnya, versi tersebut gagal memenuhi ekspektasi penonton. Selain akting para pemainnya yang berlebihan, CGI yang buruk seolah mendeklarasikan budget rendah yang dimiliki film ini secara terang-terangan.
Terakhir, ada live action dari anime Blood: The Last Vampire. Meski dibintangi oleh Gianna Jun alias Jun Ji Hyun, film adaptasi ini tetap tak selamat dari komentar pedas penonton. Aspek visual yang harusnya memanjakan mata, justru dinilai murahan. Lagi-lagi, akting berlebihan para pemeran pendukung juga membuat penonton gerah dan tak tahan untuk protes.
Mengadaptasi karya yang sudah punya popularitas besar benar-benar jadi tantangan tersendiri, ya, Bela? Jika pernah menonton salah satu dari deretan film di atas, bagaimana pendapatmu?