Daerah Lubang Buaya, yang kini menjadi museum, adalah saksi bisu betapa brutalnya Peristiwa G30S (Gerakan 30 September). Tepatnya pada 1 Oktober 1965 waktu dini hari, sebanyak enam jenderal dan satu perwira TNI AD dijemput secara paksa oleh pasukan Cakrabirawa di kediaman mereka masing-masing.
Dari ketujuh sosok tersebut, tiga di antaranya dibawa dalam keadaan meninggal dunia setelah tewas di kediamannya sendiri, yakni Letjen Ahmad Yani, Mayjen MT Haryono, dan Brigjen DI Panjaitan.
Bersama keempat orang lainnya—Mayjen R. Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen Sutoyo, dan Lettu Pierre A Tendean—ketujuh tubuh tersebut dimasukkan ke dalam sumur di daerah Lubang Buaya. Setelah semua masuk, kemudian tubuh yang saling tumpang tindih tersebut dihujani oleh tembakkan.
Pada akhirnya, jenazah ketujuh orang tersebut berhasil ditemukan oleh satuan Resimen Para Anggota Komando Angkatan Darat (RPKAD) berkat kesaksian seorang polisi bernama Sukitman. Dirinya berhasil melarikan diri setelah sempat dibawa paksa ke Lubang Buaya oleh kelompok gerakan G30S.
Proses evakuasi kemudian dimulai pada 3 Oktober 1965. Namun, jenazah baru dapat diangkat sehari setelahnya menggunakan tabung zat asam oleh evakuator. Di dalam sumur sedalam 12 meter, ditemukan sampah kain, dedaunan, dan batang-batang pisang yang menutupi tubuh-tubuh yang dipastikan sudah tidak bernyawa lagi.
Ketujuh korban dari Peristiwa G30S ini kemudian dianugerahi sebagai Pahlawan Revolusi. Seluruh korban dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata yang dalam proses pemakamannya dihadiri oleh puluhan ribu warga yang ingin memberikan penghormatan terakhir.