Sekarang, kamera bisa kamu temukan dengan mudah di ponsel masing-masing. Merekam momen sudah jadi hal biasa. Aplikasi edit video pun sudah punya banyak fitur canggih. Siapapun bisa jadi kreator konten yang hampir bisa bersaing dengan filmmaker profesional.
Namun, merekam video adalah sebuah kemewahan jika kembali ke tahun 1950-an. Lewat film The Fabelmans, saya jadi tahu bahwa membuat konten video masa itu butuh effort besar. Selain itu, ada sisi lain kehidupan yang bisa terlihat dari sebuah lensa, bahkan rahasia yang luput dari pandangan.
The Fabelmans adalah film yang terinspirasi dari awal perjalanan karier sang sutradara, Steven Spielberg. Namun, film ini bukanlah autobiografi dirinya. Karakter utama di dalam film ini adalah Samuel "Sammy" Fabelman (Gabriel LaBelle), seorang filmmaker muda yang penuh rasa ingin tahu.
Sejatinya, kondisi Sammy merupakan sesuatu yang diimpikan banyak anak. Tiap anak punya mimpi, tetapi tidak semua orang tua bisa memfasilitasinya. Meski hanya sang ibu, Mitzi (Michelle Williams), Sammy mendapatkan sokongan mental yang cukup kuat. Padahal, masa itu perfilman bukanlah suatu pekerjaan yang cukup bisa dibanggakan.
Tak hanya sisi bahagia, penonton juga akan diajak melihat dinamika keluarga Fabelman. Lewat lensa Sammy, banyak momen terekam dan terungkap. Ada adik-adik Sammy yang suportif dengan menjadi pemeran setia untuk cerita sang kakak, ayah yang tetap bangga meski tak sepenuhnya setuju, hingga seorang paman–teman ayah Sammy–yang nantinya memberikan perubahan dalam tatanan keluarga Fabelman.
Sebagaimana film biografi pada umumnya, latar waktu yang diambil di dalam The Fabelmans dimulai dari masa kecil, remaja, hingga saat Sammy beranjak dewasa. Perjalanan waktu ini juga beriringan dengan berkembangnya teknologi perfilman. Jika sudah terbiasa dengan kemewahan teknologi hari ini, kamu bakal tercengang dengan cara yang dilakukan Sammy untuk menyunting video.
Bagaimana tidak, memotong durasi video kini merupakan hal sepele karena kita hanya perlu menggeser-geser layar. Namun, tahukah kamu apa yang dilakukan Sammy dan orang-orang di masa itu? Rol film benar-benar dipotong dalam arti yang sesungguhnya menggunakan sebuah alat. Saya jadi berpikir, "duh, pekerjaan seperti ini sudah jelas bukan untuk orang yang masih suka ragu-ragu saat menyunting video. Sekali salah potong, repot, deh, urusannya."
Jika boleh memilih, saya paling suka masa remaja Sammy dari semua timeline yang digunakan dalam The Fabelmans. Masa-masa sekolah menengah yang dilaluinya memang berat karena menerima diskriminasi Yahudi dari teman-temannya. Namun, keadaan berubah lebih menyenangkan usai ia berkenalan dengan Monica (Chloe East). Ada banyak cerita cinta monyet yang dialami remaja pada umumnya.
Hal yang membuat fase ini lebih pecah adalah perbedaan keyakinan antara Sammy dan Monica. Ada satu adegan ketika sang puan mengajak Sammy mengenal Tuhannya. Alih-alih religius, adegan ini justru membawa rentetan dark comedy. Jujur, saya merasa sedikit bersalah karena sudah tertawa.
Durasi film yang mencapai 2,5 jam sedikit membuat saya bosan di beberapa bagian. Namun, saya suka dengan bagaimana cara film ini diakhiri. Memang Sammy belum sepenuhnya menggapai mimpi sebagai filmmaker profesional, tetapi akhir yang dipilih saya rasa sudah cukup happy ending meski tak meninggalkan kesan yang begitu kuat.
Bicara soal ending, saya jadi teringat perkataan aktor Indonesia, Vino G. Bastian, dalam salah satu wawancara yang saya lakukan. Katanya,
"Karena masalah dalam kehidupan kita itu nggak akan pernah selesai. Maksudnya akan ada terus. Kan ini diberhentikan karena durasi film."
Kalau kisah hidupmu bisa dijadikan sebuah film seperti ini, fase mana yang akan kamu pilih untuk diceritakan, Bela? Share di kolom komentar, yuk!
