instagram.com/sheiladaisha
Akar permasalahan Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang bermula dari pertengkaran hebat antara Aurora dan Jem. Karena kebiasaannya yang buruk, Jem sampai merusak ponsel dan karya akhir kekasihnya. Hal ini kemudian membuat sang perempuan harus menunda kelulusannya dan tak memberi kabar apa pun kepada keluarga di Jakarta.
Untuk orang yang belum pernah mengalami fase hidup seperti ini, Aurora mungkin tampak kekanakan. Angkasa dan Awan bahkan sampai harus menyusul ke London karena saudaranya nihil kabar selama dua bulan. Anggapan buruk kepada anak tengah ini diperkuat dengan teknik sinematografi yang diterapkan Angga dan timnya.
"Di awal memang kita bikin seakan-akan Aurora tuh memang nggak bener aja karena nggak ngabarin orang tuanya dan saya menempatkan adegan di kafe itu untuk penonton bisa simpati ke kakak dan adiknya gitu. Jadi pas Aurora menjelaskan, itu nggak perlu ada suaranya. Jadi kita taruh kameranya di luar. Tapi, itu memang sengaja untuk membuat penonton mengalami ketidaksepahaman dulu dengan Aurora, lalu kemudian memahami, sampai akhirnya mengerti kemudian menangis bersama Aurora," ungkap Angga.
Saya mengacungkan jempol untuk inisiatif ini karena memang berhasil! Saat kemudian satu demi satu alasan Aurora bertindak demikian terbongkar, rasa pilu di hati muncul begitu saja. Angga mengajak penonton menyelami satu sudut pandang baru. Dengan ini, orang mungkin bisa mulai memahami mengapa menyelesaikan studi terasa sulit bagi banyak mahasiswa–terutama perantau–tanpa harus menghakiminya.
instagram.com/anggasasongko
Eksperimen terbesar Angga dan M. Irfan Ramli sebagai penulis skenario dalam Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang adalah mendobrak pakem garis waktu. Tak dapat dimungkiri, hal ini membuat saya berkali-kali mengerutkan dahi. Sesaat saya merasa seperti sedang melamun kala garis waktu berpindah tanpa aba-aba meski sudah fokus sepenuhnya.
"Kami menulis ini dengan kesadaran timeline-nya acak. Kalau di yang pertama (NKCTHI) itu, timeline acak tapi kita bisa identifikasi. Oh, ini masa lalu. Oh, ini masa sekarang. Kalau ini kadang-kadang kita lompat ke dua bulan ke belakang, lompat tiba-tiba ke dua hari ke depan, lompat tiba-tiba ke tiga minggu ke depan, balik lagi ke empat minggu ke belakang tanpa ada identifikasi. Kenapa kami melakukan itu? Sebenarnya karena kami ingin coba satu metode penceritaan di mana orang tuh nggak mungkin nggak perlu memahami garis waktu, tapi bagaimana semenjak film mulai sampai film berakhir, penonton diajak terlibat dengan karakternya. Sehingga, alur cerita itu disusun berdasarkan development karakternya," papar Angga.