Selanjutnya, berbicara tentang orang yang dianggap sukerto atau manusia "panas". Ternyata, ada cukup banyak jenis manusia sukerto yang tersurat di berbagai kitab Jawa kuno.
Namun, kalau melihat rincian dari Kitab Centini (1814), jilid 2, edisi Latin terbitan Yayasan Centini Yogyakarta, di halaman 296 - 298. Manusia sukerto terbagi menjadi 15 jenis, yaitu sebagai berikut.
1. Ontang-anting: anak tunggal laki-laki.
2. Unting-unting: anak tunggal perempuan.
3. Uger-uger lawang: dua orang anak laki-laki semua.
4. Kembang sepasang: dua orang anak perempuan semua.
5. Gedhana-gedhini: dua orang anak, laki-laki dan perempuan.
6. Gedhini-gedhana: dua orang anak perempuan dan laki-laki, yang tua perempuan.
7. Pendawa: lima orang anak laki-laki semua.
8. Pendawa ngayomi: lima orang anak perempuan semua.
9. Pendawa madangake: lima orang anak, empat orang di antaranya laki-laki.
10. Pendawa apit-apit: lima orang anak, empat di antaranya perempuan.
11. Ontang-anting lumunting tunggaking aren: anak tunggal yang di tengah kedua alisnya terdapat titik putih bermuka pucat.
Lalu 11 macam manusia sukerto yang disebabkan oleh “cacat kodrati” atau cacat kelahiran di atas, menjadi mangsa pokok Betara Kala yang harus diruwat. Kecuali itu, Kitab Centini menyarankan pula empat jenis manusia sukerto yang perlu diruwat karena kelalaian atau perilaku manusia itu sendiri.
Empat jenis kelalaian manusia yang konon juga jadi mangsa empuk Batara Kala tersebut, di antaranya sebagai beriku.
12. Batang angucap: jika seseorang berjalan di saat tengah hari tepat, tanpa bersumping di atas telinganya, tanpa berdendang, dan tidak mengunyah sirih.
13. Jisim lumaku: jika dua orang berjalan di saat tengah hari tepat, tanpa bersumping di atas telinganya, tanpa berdendang, dan tidak mengunyah sirih.
14. Mancah: orang yang sengaja mengalami Betara Kala mencari mangsa yang menjadi jatahnya.
15. Tiba sampir: bayi yang lahir bertepatan dengan tersenggaranya wayang kulit di desanya.