Jika kita merujuk pada hadis yang telah disebutkan sebelumnya, maka tukar menukar uang yang biasa dilakukan adalah haram atau tidak sesuai hukum. Ternyata jelas bahwa tukar menukar barang yang sejenis (dalam hal ini uang dengan uang) harus senilai dan tunai.
Sedangkan dalam kegiatan tukar uang yang biasa dilakukan masyarakat, disertai dengan potongan sejumlah tertentu yang harus dibayarkan sebagai kelebihan dari transaksi kepada si penjual. Hal ini menjadikan takaran atau bobot tukar menukar uang tersebut menjadi tidak sama atau tidak senilai antara satu pihak dengan pihak lainnya.
Perkara tersebut juga dijelaskan dalam sebuah hadist Ahmad dan Muslim sebagai berikut:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, sya’ir (gandum kasar) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, takaran atau timbangan harus sama dan dibayar tunai. Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Ahmad 11466 & Muslim 4148).
Jelas sudah hukum menukar uang baru untuk lebaran dalam lebaran. Oleh karena itu, umat muslim lebih memerhatikan syarat dan hukumnya agar tidak terjerumus ke dalam riba. Sangat disayangkan apabila niat baik berbagi, justru menjadi dosa karena ketidaktahuan.