Kebersihan menjadi perhatian khusus dalam Islam. Hal ini karena kebersihan termasuk dalam sebagian iman. Oleh karena itu, kita diwajibkan untuk menjaga kesehatan serta kebersihan setiap saat.
Bahkan sebelum melakukan ibadah, kita diharuskan bersuci terlebih dahulu. Hal ini dilansir dari Abu Malik Al-Ash'ari yang mengungkap bahwa Rasulullah pernah bersabda, "Kesucian itu separuh dari iman."
Kuku adalah bagian terluar tubuh yang berinteraksi langsung dengan lingkungan sekitar. Akan hal itu, kuku sangat rentan terkena berbagai macam kotoran. Membiarkan kuku panjang dalam Islam, sama halnya dengan membiarkannya menjadi sarang kotoran dan kuman.
Berikut adalah hari yang bagus untuk memotong kuku menurut sunah Islam:
- Potong kuku hari Senin diyakini dapat mendatangkan keberkahan bagi siapa pun yang melakukannya.
- Potong kuku hari Selasa mendatangkan keburukan berupa kerusakan.
- Potong kuku hari Rabu membuat akhlak menjadi buruk atau tidak baik.
- Potong kuku hari Kamis akan mendatangkan kekayaan.
- Potong kuku hari Jumat akan mendatangkan kebaikan berupa bertambahnya ilmu dan pertanda sifat santun.
- Potong kuku hari Sabtu akan mendatangkan sakit.
- Potong kuku hari Minggu mendatangkan hal buruk atau kesialan.
Kendati demikian, sebenarnya tidak ada batasan hari untuk memotong kuku serta membersihkan diri dalam Islam. Namun, merujuk pada kitab Hasyiyatul Jamal yang ditulis oleh Sulaiman Al-Jamal, terdapat hari yang disunahkan untuk memotong kuku yaitu Senin, Kamis, dan Jumat sebelum melaksanakan salat Jumat.
Berikut adalah bunyi sunah tersebut:
وَيُسَنُّ غَسْلُ رُءُوسِ الْأَصَابِعِ بَعْدَ قَصِّ الْأَظْفَارِ لِمَا قِيلَ إنَّ الْحَكَّ بِهِ قَبْلَ الْغُسْلِ يُورِثُ الْبَرَصَ وَالْأَوْلَى فِي قَصِّهَا أَنْ يَكُونَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ الْخَمِيسِ أَوْ الِاثْنَيْنِ
Artinya: Disunahkan mencuci ujung-ujung jari setelah dipotong kukunya karena ada yang mengatakan bahwa menggaruk-garuk sebelum dicuci akan menyebabkan penyakit kusta. Yang utama memotong kuku dilakukan pada hari Jumat, Kamis atau Senin. (Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyatul Jamal, Beirut-Dar al-Fikr, juz III, halaman 361).