Perihal HP barunya itu, sesungguhnya sudah lama Rara menginginkannya. Beberapa kali ia membujuk ayahnya agar dibelikan HP. Gagal meminta langsung pada ayahnya, Rara pun minta bantuan ibunya. Namun, tetap saja usaha Rara gagal.
Minggu lalu, Rara benar-benar berusaha meyakinkan ayahnya betapa ia sangat membutuhkan HP.
Rara: “Yah, Rara benar-benar perlu HP. Belikan, ya, Yah?” tanya Rara pada ayahnya.
Ayah: “Ayah belum punya cukup uang untuk membeli HP, Ran. Lagipula ‘kan sudah ada telepon rumah,” kata ayah sambil meletakkan koran ke atas meja.
Rara: “Tapi, Yah… semua teman Rara punya HP. Mereka dapat dengan mudah menelepon orang tuanya saat terpaksa pulang telat.”
Ayah: “Lah, kalau begitu kamu jangan pulang telat,” kata Ayah lagi.
Rara hampir saja menangis.
Rara: “Tak hanya itu, Yah… Rara iri sama teman-teman Rara yang dapat dengan mudah mengunduh materi pembelajaran, mengirim tugas, bahkan berdiskusi untuk mengerjakan tugas-tugas tanpa harus keluar rumah,” kata Rara dengan kalimat yang runtut dan jelas. Kalimat yang sudah beberapa hari ia rancang untuk merayu ayahnya.
Mendengar penjelasan Rara, Ayah melepas kacamatanya dan menatap Rara dengan lembut.
Ayah: “Sebegitu pentingkah HP itu bagimu, Nak?”
Rara hampir saja melonjak kegirangan mendengar reaksi ayahnya.
Rara: “Iya, Yah. Apalagi guru-guru sering menugaskan kami untuk mengirim tugas ke grup Facebook atau mengunggah tugas di blog. Kalau Rara punya HP kan enak, bisa buat diskusi bareng teman-teman sekaligus dapat mengakses internet melalui HP.”
Ayah: “Hm… Ayah akan membelikan HP untuk Rara, asal…, ” Ayah seakan sengaja menggoda Rara.
Rara: “Asal apa, Yah?” tanya Rara tak sabar.
Ayah: “Asal Rara rajin belajar dan berjanji akan menggunakan HP itu untuk hal-hal yang positif.”
Rara: “Rara janji, Yah. Makasih, ya, Ayah,” janji Rara sambil memeluk ayahnya.