Lalu, bagaimana jika utang puasa belum sempat terbayarkan namun sudah bertemu kembali dengan bulan Ramadan? Apakah jumlah utangnya berlipat ganda?
Mungkin beberapa dari kita menganggap jika utang puasa tidak perlu dibayar atau tidak mengetahui jika utang puasa wajib dibayar. Hal ini telah tertulis di Surat Al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi dan memiliki arti sebagai berikut.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya: "Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (Q.S Al-Baqarah: 185)
Jika kamu baru mengetahuinya dan memiliki utang puasa beberapa tahun lalu, namun sudah bertemu kembali dengan Ramadan, merangkum dari situs Jabar.nu.or.id telah menjelaskannya dengan membagi dua kondisi yang kamu alami.
Pertama, kondisi udzur atau fisik yang tidak memungkinkan untuk membayar utang puasa. Karena keadaan fisik yang tidak memungkinkan (sakit atau tua) kamu untuk membayar puasa, maka berdasarkan penjelasan Syekh Khatib asy-Syirbini dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj, kamu berkewajiban mengqadha puasa sampai waktu kamu mampu melaksanakannya.
فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْهُ الْقَضَاءُ لِاسْتِمْرَارِ عُذْرِهِ كَأَنْ اسْتَمَرَّ مُسَافِرًا أَوْ مَرِيضًا، أَوْ الْمَرْأَةُ حَامِلًا أَوْ مُرْضِعًا حَتَّى دَخَلَ رَمَضَانُ فَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ
Artinya: "Jika tidak memungkinkan untuk qadha' karena masih ada udzur misalnya sepanjang tahun menjadi musafir, orang sakit, hamil atau menyusui hingga masuk Ramadan berikutnya, maka tidak ada kewajiban membayar fidyah."
Kedua, jika kamu lalai membayar utang puasa hingga bertemu Ramadan berikutnya padahal kamu mampu melakukannya, ada dua pendapat tentang hal ini. Pendapat pertama adalah mengqadha puasa sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan dan membayar fidyah sebesar 1 mud (7 ons) beras per hari.
Hal ini dijelaskan oleh Syekh Khatib asy-Syirbini dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj.
(وَمَنْ أَخَّرَ قَضَاءَ رَمَضَانَ) أَوْ شَيْئًا مِنْهُ (مَعَ إمْكَانِهِ) بِأَنْ لَمْ يَكُنْ بِهِ عُذْرٌ مِنْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ (حَتَّى دَخَلَ رَمَضَانُ آخَرَ لَزِمَهُ مَعَ الْقَضَاءِ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ)
Artinya: "Barang siapa yang menunda qadha' puasa Ramadan sementara ia mampu untuk melaksanakannya, yakni tidak ada uzur seperti berpergian atau semacamnya, hingga masuk Ramadhan berikutnya maka ia berkewajiban qadha’ serta membayar fidyah 1 mud per hari."
Lantas, bagaimana jika utangnya bertumpuk beberapa tahun? Menurut penjelasan beberapa ulama, melansir dari Jabar.nu.or.id, jumlah hari puasa qadha sama dengan jumlah utang puasa selama beberapa tahun tersebut. Jumlah tersebut tidak berlipat ganda, melainkan sama dengan hari kamu tidak berpuasa di bulan Ramadan.
Namun, yang membengkak adalah jumlah fidyahnya yang juga dihitung per hari sesuai dengan jumlah utang puasa selama beberapa tahun tersebut. Ada pula sebagian ulama yang berpendapat jika fidyah tidak ikut membengkak. Misalkan punya hutang puasa 10 hari dan belum diqadha hingga 3 tahun maka wajib qadha puasa serta membayar 30 Mud (21 kilogram) menurut pendapat pertama atau membayar 10 Mud (7 kilogram) menurut pendapat kedua.
Dengan memahami kewajiban membayar hutang puasa dan opsi yang tersedia, diharapkan umat Muslim dapat melunasi kewajibannya dengan baik dan menyambut bulan Ramadan dengan hati yang penuh rasa syukur dan keikhlasan.
Semoga artikel ini dapat membantu kamu memahami utang puasa dan sebagai pengingat untuk tidak meninggalkan qadha puasa jika kondisi fisik masih mampu.