Tutup
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
unfortunately

Masa Depan Perfilman Asia Tenggara, Antara Dukungan dan Biaya

"Extreme Sports for Nerds" - Timo Tjahjanto

Ayu Utami

Sadarkah kamu, jika kehadiran festival film yang ada di dunia begitu dihargai oleh film maker, karena membuat film bukan perkara mudah. Mulai dari proses pencarian dana, riset lokasi, penulisan cerita dan dialog, proses produksi yang melibatkan ratusan hingga ribuan orang, sampai proses editing dan distribusi yang juga bukan perkara mudah. Sehingga, ketika ada wadah yang hadir untuk mengapresiasi karya para sineas, hal inilah yang menjadi suntikan semangat para pekerja seni ini untuk kembali berkarya.

Di hari terakhir gelaran Sundance Film Festival: Asia 2021, tiga sineas dari tiga negara, hadir membagikan kisah mereka, ketika karyanya bisa dikenal secara global melalui festival film. Tidak ketinggalan, content director Netflix perwakilan Asia Tenggara, Malobika Banerji.

Vanridee Pongsittisak (Produser & sutradara film asal Thailand)

tiktok.com/SundanceFFAsia

Membahas bagaimana masa depan perfilman di Asia Tenggara di masa depan, menurut Vanridee, Asia punya banyak cerita atau legenda lokal. Dulu, sajian tersebut cocok dan diterima oleh masyarakat lokal. Tapi sekarang cerita seperti ini sudah bisa diberikan kepada penonton international, sehingga kultur dan budaya Asia bisa dikenal. Sehingga menurutnya, Asia tidak hanya dilihat sebagai negara eksotis ,tapi juga sineasnya mampu masuk dalam standar produser secara internasional.

Mikhail Red (Sutradara asal Filipina)

tiktok.com/SundanceFFAsia

"Kendalanya biasanya di distribusi. Bagaimana para sutradara independen ini bisa tetap bertahan dan mendapat dukungan, mendapat kepercayaan dari penonton lokal juga, karena mau tidak mau tetap bersaing dengan film-film Hollywood," tukas Mihail Red, menyambung apa yang dikatakan oleh Vanridee.

Namun yang mereka amini bersama adalah mendapat dukungan dana. Apa yang terjadi di Thailand dan Philipina, berbeda dengan industri film Hollywood, atau yang terdekat, Jepang dan Korea Selatan. Mereka mendapat dukungan dana maupun sponsor besar-besaran, sehingga sineas di sana bisa membuat karya film dengan totalitas.

Timo Tjahjanto (Sutradara Indonesia)

tiktok.com/SundanceFFAsia

Hal serupa turut dirasakan Timo Tjahjanto. Sutradara The Night Comes for Us ini merasa sukses di festival bukan berarti sukses rilis di negara sendiri. "Karena belum tentu sesuai yang dimau orang lokal," katanya. "Apalagi kalau film maker ambisius, perspektifnya harus mau lebih luas lagi untuk mendapat penonton dari berbagai daerah," tambahnya.

Timo sebagai sutradara yang termasuk konsisten dengan satu genre, menyadari kalau menarik minat orang di luar market lokal, harus bisa mencoba cross border (genre berbeda), sehingga bisa diterima orang lain. Jadi unsur lokal tetap ada, tapi juga bisa diterima oleh penonton internasional. "Apalagi dengan adanya OTT, jadi membantu film-film kita meluaskan cakupannya. Misalnya film gue 'killers' yang bisa masuk Festival Sundance," tambahnya.

Malobika Banerji (Content Director Netflix SEA)

tiktok.com/SundanceFFAsia

Sebagai perwakilan Netflix, Malobika mengakui bahwa memang sekarang streaming yang menjadi harapan untuk menjadi wadah film-film Asia Tenggara bisa dilihat secara internasional, terutama dalam kondisi sekarang.

"Dengan cerita yang otentik dan bisa lebih beresonansi dengan orang-orang di luar Asia Tenggara, maka akan mendapat engagement yang tinggi. Saya juga sangat yakin kalau dekade berikutnya, film-film Asia Tenggara akan menjadi karya yang sangat menjanjikan," jelasnya.

Menghadapi tantangan sebagai sineas Asia Tenggara

tiktok.com/SundanceFFAsia

Dengan lugas, Mikhail menceritakan apa yang menjadi kendala sineas Asia Tenggara dan apa yang bisa dia lakukan.

"Untuk mendapatkan pendanaan dalam membuat film, sineas berhadapan dengan level yang berbeda jika dibandingkan dengan film Hollywood. Mereka ingin membuat film dengan produksi yang megah, namun untuk meyakinkan investor di Philipina sendiri tidak mudah. Kalau mau buat yang rumit, tentu butuh peralatan, syuting ekstra, dan sebagainya. Saya termasuk beruntung bisa ketemu dengan orang-orang yang percaya sama karya saya untuk membiayai film saya. Lalu tinggal saya membuat bagaimana bisa terlihat berbeda dari karya-karya Hollywood," jelasnya panjang lebar.

Sementara dari sisi Timo, ada fakta bahwa hidup di Asia Tenggara lebih berat dari negara barat, jadi orang suka menonton komedi romantis untuk membuat diri mereka merasa lebih baik.

"Jadi gue setuju dengan Mikhail, dari hal produksi, kita tentu butuh lot of stuff to test kalo genre lo a bit darker, misalnya, kayak cara hantu floating, dan lain-lain. Makanya kalo bikin rom com rasanya lebih mudah karena nggak perlu produksi yang rumit dari genre gelap yg banyak tes," tukas Timo.

Ia juga menambahkan, jika sineas Asia Tenggara idak punya akses atau fasilitas mumpuni dalam hal visual effects atau practical effects, sementara Thailand sudah mulai maju dalam hal ini. Itulah tantangannya.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan sebagai penonton? Sederhana kok, Bela. Nikmati karya film dalam negeri secara legal dan berikan komentar membangun bagi para sineas kita. Hal tesebut sudah menjadi langkah paling sederhana dalam membuat perubahan positif untuk perfilman Indonesia di masa mendatang.

IDN Media Channels

Latest from Inspiration