Tutup
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
unfortunately

5 Alasan Historis Mengapa RA Kartini Memperjuangkan Kesetaraan Gender

Dan kenapa kamu harus mengikuti jejaknya

Niken Ari Prayitno

Setiap tahunnya di tanggal 21 April, di Indonesia selalu diperingati sebagai Hari Kartini. Hari ini merupakan tonggak perjuangan emansipasi perempuan di awal tahun 1900-an. Kartini dengan segala yang dimilikinya saat itu berusaha untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Khususnya, kesetaraan memperoleh pendidikan bagi setiap individu.

Lahir pada 21 April 1879, Raden Ajeng Kartini lahir dari keluarga bangsawan keturunan Jawa. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat menjabat sebagai Bupati Jepara saat itu. Dengan statusnya sebagai seorang bangsawan, Kartini beruntung bisa mengenyam pendidikan, sehingga ia dapat dengan lancar membaca dan menulis dalam bahasa Belanda.

Dengan segala pemikirannya yang begitu maju pada masa itu, Kartini kemudian memperjuangkan hak-hak perempuan untuk memperoleh pendidikan. Jika menilik lebih lanjut tentang sejarah perjuangannya, ini beberapa alasan mengapa RA Kartini begitu memperjuangkan kesetaraan gender.

1. Sulitnya akses pendidikan untuk perempuan, hanya perempuan dengan status tertentu yang boleh sekolah

Citizen6.liputan6.com

Di masa anak-anaknya, Kartini cukup beruntung dapat mengenyam pendidikan di Europese Lagere School (ELS) atau setara dengan sekolah dasar hingga usianya 12 tahun. Status Kartini yang merupakan keturunan bangsawan, membuatnya mendapatkan kesempatan untuk belajar di sekolah formal. 

Di masa itu, tidak semua perempuan seberuntung Kartini. Sekolah-sekolah hanya mengizinkan anak laki-laki untuk sekolah. Sementara anak perempuan dilarang keluar rumah, bahkan untuk mengenyam pendidikan. Hanya mereka yang keturunan bangsawan yang diizinkan untuk menikmati pendidikan.

Karena alasan ini, tidak heran jika perempuan menjadi begitu terbelakang. Sebab, pendidikan dasar (untuk sekadar menulis dan membaca) saja mereka tidak bisa mendapatkannya.

2. Perempuan bangsawan boleh sekolah, tapi hanya sampai usia 12 tahun

Dok. Internet

Kartini memang bisa mengenyam pendidikan. Tapi, terbatas hanya sampai usia 12 tahun atau ketika pendidikan dasar selesai. Selanjutnya, Kartini harus menjalani masa pingitan dan tetap berada di rumah sampai ada laki-laki yang datang melamarnya.

Dengan aturan yang berlaku saat itu, tentu Kartini tidak puas hanya mengenyam pendidikan dasar. Menurut Kartini saat itu, perempuan juga seharusnya bisa mendapatkan pendidikan yang layak di sekolah formal daripada hanya berdiam di rumah sampai ada yang melamarnya untuk menikah.

Berawal dari pemikiran tersebut, Kartini pun tidak berhenti belajar. Secara mandiri, Kartini kemudian mengembangkan kemampuan menulis dan membacanya. Banyak surat kabar dan buku asal Belanda yang ia baca saat itu karena dirinya begitu haus akan belajar.

Ia pun rajib berkorespondensi dengan sahabat penanya, Rosa Abendanon yang berasal dari Belanda. Kepada Rosa, Kartini mengungkapkan rasa irinya terhadap perempuan Eropa yang bisa belajar di sekolah formal dan memberitahukan gagasannya soal mendirikan sekolah khusus perempuan.

3. Perempuan harus memiliki dan mempelajari keahlian, meskipun melalui sekolah informal

Dok. Museum Pusat Jakarta via Kompas

Saat memasuki masa pingitan, selain rajin membaca dan berkirim surat dengan Rosa, Kartini mengisi waktunya dengan mengembangkan keahliannya dalam membatik. Kegiatan ini dilakukannya bersama adik-adik dan perempuan lainnya yang tinggal di Jepara agar mereka bisa mendapatkan pendidikan dasar.

Kala itu, Kartini begitu optimis bahwa perempuan bisa naik status dan derajatnya di suatu hari nanti. Keinginan Kartini ini kemudian begitu didukung oleh Rosa melalui surat-surat yang saling dikirimkan satu sama lain.

Surat-surat yang dikirimkan itu berupa uraian pemikiran Kartini terkait berbagai masalah termasuk tradisi feodal yang menindas, pernikahan paksa dan poligami bagi perempuan Jawa kelas atas dan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan.

Surat-surat tersebut juga berisikan pengalaman hidup Kartini sebagai putri seorang Bupati Jepara. Ia tertarik kepada kemajuan berpikir para perempuan Eropa. Ia ingin perempuan Indonesia memiliki ilmu pengetahuan luas dan pikiran maju layaknya perempuan Eropa.

4. Pernikahan paksa dan poligami yang begitu merugikan perempuan

Dok. Internet

Seperti yang sudah disebutkan pada poin sebelumnya, keinginan Kartini agar perempuan bisa mendapatkan akses pendidikan yang layak tak lepas dari praktik pernikahan paksa dan poligami yang begitu merugikan perempuan.

Hal ini terjadi pada ibu kandungnya sendiri yang tidak dianggap sebagai istri utama, hanya karena ia bukanlah keturunan darah biru. Mirisnya, ibu kandung Kartini bahkan memanggil sebutan 'Ndoro (tuan)' kepada anak-anaknya dan ia tidak diizinkan tinggal di rumah utama bersama suaminya, yang saat itu sudah menjabat sebagai Bupati Jepara.

Hal ini menjadi memori kelam bagi Kartini. Melihat ibunya diperlakukan tidak adil hanya karena masalah keturunan, membuat Kartini semakin membulatkan tekad untuk memperjuangkan hak dan kesetaraan perempuan.

5. Mendirikan sekolah khusus perempuan agar perempuan mendapat pendidikan yang layak

Historia.com

Pada November 1903, Kartini dipersunting oleh Bupati Rembang Raden Adipati Joyodiningrat. Saat itu Kartini sudah berusia 24 tahun, dan Bupati Joyodiningrat berstatus duda setelah istri utamanya meninggal dunia. Meski duda, Bupati Joyodiningrat masih memiliki dua selir yang mendampinginya.

Kartini memanfaatkan pinangan Bupati Joyodiningrat untuk memperjuangkan hak perempuan. Ia mengajukan syarat yang semuanya dipenuhi oleh Bupati Joyodiningrat. Syarat pertama, ia ingin agar ibu kandungnya, meski bukan berdarah biru dapat tinggal di pendopo atau rumah utama. 

Syarat kedua, ia meminta Bupati Joyodiningrat untuk mengizinkannya membuka sekolah khusus perempuan, seperti yang ia lakukan saat tinggal di Jepara. Syarat ketiga dan begitu ekstrem pada masa itu, yakni Kartini meminta tak mau ada prosesi jalan jongkok, berlutut, dan menyembah kaki mempelai pria saat menikah.

Syarat terakhir, Kartini meminta untuk menggunakan bahasa Jawa ngoko, bukan kromo inggil saat berbicara dengan suaminya. Hal ini sebagai bentuk ketegasannya bahwa suami dan istri memiliki derajat yang sama.

Semua syarat tersebut dipenuhi oleh Bupati Joyodiningrat dan ia mendukung penuh apa yang dilakukan Kartini demi memperjuangkan kesetaraan perempuan.

Itu tadi beberapa alasan Kartini dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Beruntung di masa modern ini kita bisa berkolah dan berkarya sesuai dengan yang kita inginkan tanpa harus terkekang adat dan kebiasaan yang membuat perempuan sulit mendapatkan haknya.

IDN Media Channels

Latest from Inspiration