Malam takbiran adalah malam menyambut kemenangan bagi umat muslim. Setelah berpuasa selama satu bulan, sebelum merayakan Idulfitri, semalaman masyarakat akan mengumandangkan takbir dan tahmid.
Tak terkecuali di Indonesia. Saat malam takbiran tiba, baik di kota besar atau di desa, akan terdengar seruan takbir sepanjang malam hingga waktu menjalankan salat Id tiba. Untuk memberitahukan kabar gembira ini, biasanya masyarakat akan ramai-ramai berkeliling sambil mengucap takbir.
Namun, beberapa daerah di Indonesia memiliki tradisi unik saat malam takbiran. Tujuannya sama yaitu untuk mengucap syukur, merayakan, dan mengumumkan jika Idulfitri akan tiba. Kira-kira ada tradisi unik apa saja, ya? Let's check this out, Bela!
Aceh adalah salah satu daerah di Indonesia yang masyarakatnya mayoritas muslim. Di Aceh, ada salah satu tradisi unik pada malam sebelum Idulfitri yang dikenal dengan nama Meugang.
Kabarnya, tradisi ini telah ada sejak zaman Kerajaan Aceh Darussalam. Kala itu, pemerintah kerajaan memerintahkan kepada balai fakir untuk membagikan daging, pakaian, dan beras kepada fakir dan dhuafa.
Hingga kini, tradisi meugang masih terus dijalankan oleh masyarakat Aceh. Tradisi ini biasanya dijalankan selama tiga kali dalam setahun, yaitu dua hari sebelum Ramadan dan Idulfitri, serta dua hari menjelang Iduladha.
Pemerintah kabupaten Asahan turut meramaikan malam takbiran dengan menyelenggarakan pawai kendaraan hias. Bukan hanya kabupaten Asahan, tak jarang wilayah Medan juga merayakan malam takbiran dengan mengadakan acara serupa.
Biasanya, peserta pawai kendaraan adalah perwakilan kelurahan, desa, atau para pengurus masjid setempat. Peserta yang ingin ikut perlu mendaftarkan diri. Nantinya, kendaraan yang telah dihias sekreatif mungkin ini akan beramai-ramai keliling kota.
Abid adalah obor berbentuk panjang yang kedua sisinya menyala oleh api. Nantinya, obor panjang ini dimainkan selayaknya mayoret tampil dalam pertunjukan drum band.
Bukan sekadar pawai obor biasa, abid-abidan merupakan tradisi masyarakat lokal yang biasa diselenggarakan pada malam hari besar Islam, salah satunya malam takbiran.
Untuk berjaga-jaga, selama pawai sudah ada beberapa warga yang menyiapkan jerigen air. Selain mempertahankan tradisi lokal, kegiatan ini juga dianggap sebagai syiar Islam.
Ronjok Sayak atau bakar gunung merupakan tradisi masyarakat Suku Serawai untuk menyambut Idulfitri.
Bukan benar-benar membakar gunung, saat Ronjok Sayak masyarakat akan membakar tumpukan batok kelapa yang sudah disusun sedemikian rupa hingga bentuknya tinggi menjulang layaknya gunung.
Masyarakat percaya jika api adalah penghubung antara roh manusia dengan leluhur. Sayangnya, tak ada catatan tahun pasti kapan tradisi Ronjok Sayak dimulai, namun kabarnya tradisi ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
Di sepanjang pinggiran Sungai Kapuas, masyarakat Pontianak merayakan kedatangan 1 Syawal dengan festival Meriam Karbit. Sama seperti namanya, Meriam Karbit, menjelang Idulfitri biasanya jajaran meriam di pinggir sungai kapuas akan siap untuk dibakar sumbunya.
Konon katanya, saat Kesultanan Pontianak ingin membuka lahan mereka mendapat gangguan dari hantu kuntilanak. Untuk itu, sebagai upaya buang sial meriam pun dinyalakan agar para hantu kabur. Selain itu, suara meriam yang keras pun dulu digunakan sebagai waktu penanda adzan Maghrib.
Kabupaten Kaimana punya cara menarik untuk merayakan Idulfitri. Dua hari setelah waktu kedatangan Idulfitri, para remaja masjid akan memulai Pawai Hadrat, yakni berkeliling sambil bersilaturahmi.
Menariknya, tradisi Pawai Hadrat semakin seru sebab diiringi tabuhan Tifa, rebana, dan selawat. Biasanya, para warga menjajakan makanan dan minuman ringan di depan rumah agar peserta Pawai Hadrat dapat mengambilnya sehingga tidak kehausan di jalan.
Tradisi Pawai Hadrat menunjukkan junjungan nilai toleransi yang kuat. Sebab, Pawai Hadrat bukan hanya diikuti oleh muslim yang tinggal di Kabupaten Kaima, tradisi ini juga diikuti oleh masyarakat non-muslim.
Tumbilotohe berarti 'saatnya memasang lampu'. Tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Gorontalo ini dilaksanakan tiga hari menjelang IdulFitri. Saat perayaan Tumbilotohe, masyarakat akan memasang lampu di halaman rumah, di jalan, dan di tanah lapang.
Dikisahkan jika tradisi ini sudah ada sejak abad ke-15. Awalnya, masyarakat menggunakan lampu wamuta, lampu botol, lalu berkembang sesuai dengan zaman. Hingga kini, untuk menyemarakkan tradisi Tumbilotohe masyarakat menggunakan lampu listrik.
Tak ayal, Gorontalo pun bermandikan cahaya saat Tumbilotohe digelar. Sisi positif lainnya, tradisi turun temurun ini telah menyedot wisatawan untuk berkunjung ke Gorontalo dan mendapat dukungan dari pemerintah.