Lahir dalam sebuah keluarga yang memiliki beragam budaya membuat aktris dengan nama panjang Hannah Aidinal Al Rashid ini seperti memiliki kemewahan. Dia melihat perbedaan tersebut sebagai sebuah kekayaan, sekaligus bisa membuka pikirannya dalam melihat suatu hal.
Lalu, seperti apa, sih, pendapat Hannah tentang budaya dan peran perempuan di Indonesia? Simak saja wawancara Popbela bersama Hannah Al Rashid berikut ini.
Sempat mengalami identity crisis
“Menjadi orang mix culture adalah sesuatu yang cukup membingungkan bagi siapa pun. Mereka pasti punya perasaan yang berbeda, pasti memiliki identity crisis. Di satu sisi, gue not Indonesian enough, di satu sisi gue di tengah-tengah. Memang memiliki mix culture itu sebuah kemewahan, karena gue bisa melihat dua budaya yang berbeda, bisa mengambil yang baik, dan membuang yang jelek,” tutur Hannah.
Aktris yang juga bermain di film “Gundala” ini juga sempat bercerita bahwa di keluarganya, adat istiadat Indonesia yang cukup kental diajarkan oleh sang Ayah yang berasal dari Bugis.
“Gue diajarin harus cium tangan. Makan Indonesian food itu paling enak pakai pakai tangan. Waktu gue umur 4 tahun, gue disuruh ikut kelas gamelan di London. Ikut silat dan nari itu juga diajak bokap yang cukup aktif sama komunitas Indonesia di Inggris. Gue pun jadinya lebih toleran ke budaya, karena datag dari budaya yang berbeda,” cerita Hannah yang lahir di London, 25 Januari 1986 lalu.
“Bukan cuma etnis yang berbeda, agama gue berbeda juga karena mama mualaf dan gue dibesarkan di agama Islam, tapi kalau gue mengunjungi nenek yang beragama Katolik, nenek akan selalu menyiapkan makanan halal. Waktu di Spanyol, gue juga menemani nenek ke gereja dan itu tidak mengurangi iman gue. Gue menghormati dan menyayangi nenek, jadi gue mau menemani dia beribadah. Menurut gue itu sesuatu yang indah ketika kita datang dari keluarga yang mix,” jelasnya.
Dukung kesetaraan gender
Berasal dari dua budaya yang berbeda juga membuat Hannah belajar tentang kesetaraan gender. Menurutnya, permasalahan gender baik di dalam negeri maupun luar negeri selalu ada.
“Kalau masalah gender di luar negeri dan dalam negeri sama saja, masih terus ada perjuangan untuk kesetaraan, hanya mungkin ada beberapa hal yang berbeda. Contoh kecilnya saja, cat calling di Inggris ada tapi jarang. Di sini, saya merasakannya hampir setiap hari dan itu shocking. Saya melihat mereka fine-fine saja melakukan itu.”
“Sebenarnya kalau mau jahat, ya jahat saja, nggak mengenal agama atau ras. Kalau secara koletiktif kita berpikir sah-sah saja melakukan itu, jadinya begitu ada perempuan yang mengangkat isu itu malah dihujat.”
Pentingnya support system
Hannah juga menyebut bahwa support system itu sangat penting dalam sebuah lingkungan. Perempuan bisa menjadi berani berpendapat, jika tentunya ada dukungan dari pihak keluarga dan kerabat dekat. Sebaliknya, perempuan akan menjadi takut bicara, misalnya saat dia menjadi korban pelecehan, ketika support system-nya tidak ada.
“Di Indonesia, ketika saya advokasi isu perempuan, saya sering mendapat message, banyak perempuan yang justru dari keluarga mereka sendiri nggak di-support. Gue pernah mendapat DM dari orang yang mengaku mendapat pelecehan, pertama kali cerita ke gue, dan nggak pernah ke keluarga. Itu dia kenapa gue pengen bisa menjadi support system mereka, walaupun kita nggak kenal.”
“Gue sendiri pernah mengalami pelecehan, hingga sampai pada satu titik, gue pikir kalau gue menyimpan cerita gue sendiri nanti nggak ada yang berubah. Tapi kalau gue cerita secara publik, mungkin pertama itu akan membantu korban lain. Kedua itu akan membuat kesadaran di masyarakat ini adalah isu yang common, jadi gue memutuskan untuk menulis artikel buat publikasi online dan gue nggak expect dari situ gue banyak dapat message.”
Perlunya Undang-undang yang melindungi perempuan
“Kalau ngomongin soal pelecehan di Indonesia ini sangat slowly. Kenapa? Karena sudah 5 tahun tapi RUU tentang penghapusan kekerasan seksual yang sampai sekarang masih direncanakan dan belum disahkan, padahal kita sudah lihat di media ada kasus yang viral, makin banyak publik yang sadar isu ini, jadi kenapa secara legislatif belum gerak?”
“Tapi di sisi lain, dilihat dari kesetaraan untuk bekerja dan berperan dalam ekonomi negara, sebenarnya perempuan sangat berperan. Kita perlu lebih banyak perempuan di level atas, kayak posisi di kementerian, CEO, yang akan bantu perempuan di bawahnya. Di Indonesia perempuan jadi caleg itu sudah banyak, tapi kita harus memikirkan kalau seorang perempuan itu punya tanggung jawab untuk help other women. Nah, orang-orang itu apakah akan melakukan atau tidak?”
Pesan untuk perempuan millennial dan gen z
“Cintai diri sendiri yang pertama, apalagi di era digital ini kita dibombardir image atau pencitraan perfect body. Jangan dengerin hal kayak gitu. Kita harus bersyukur apa yang dikasih sama Tuhan dan harus pede dengan apa yang dikasih. Don’t think too much. Intinya, jauhi drama dan hal-hal negatif, toxic lainnya.”
Wawancara lengkap Hannah Al Rashid juga bisa kamu dengarkan di Podcast Popbela di Spotify.
Photographer: Nurulita
Fashion Editor: Michael Richards
Stylist: Ivan Teguh Santoso
Assistant Stylist: Dewi
Makeup Artist & Hair Stylist: Ranggi Pratiwi
Wardrobe: jaket, rok silver, dan sepatu STUDIO MORAL