Teknologi internet memungkinkan kita untuk terhubung dengan semua orang di penjuru dunia. Lewat media sosial kita bisa mengobrol, bergabung dengan forum, atau sekadar mengintip kehidupan orang lain. Ponsel pintar kita membuat kita bisa berbicara dengan siapa pun walau sedang sendirian.
Lewat satu klik saja, internet memudahkan kita membuat koneksi. Tapi, beberapa penelitian justru menunjukkan fakta sebaliknya. Kebanyakan dari kita justru merasa semakin kesepian dan terisolasi akibat internet. Ini beberapa alasannya.
Dunia di media sosial memungkinkan kita untuk memodifikasi tampilan hidup kita. Keinginan untuk dilihat "wah" oleh orang lain dengan menampilkan foto atau cerita terbaik ada dalam satu genggaman. Sisi lain dari hal ini adalah kita jadi susah bersikap jujur.
Keinginan untuk terlihat sempurna membuat hubungan kita dengan orang lain menjadi dangkal atau bahkan superficial. Tanpa interaksi yang bermakna, perasaan kesepian bisa dengan mudah datang.
Ketika kita bertemu langsung dengan orang lain, kita bisa menebak emosinya dari gesture tubuh dan mimik mukanya. Hal ini membantu kita untuk berhati-hati dalam melakukan atau mengatakan sesuatu. Gerak-gerik tubuh yang nggak nyaman misalnya, bisa memberi tanda tentang bercandaan kita yang mungkin melewati batas.
Sayangnya, dalam media sosial hal serupa susah untuk diterapkan. Kita hanya bisa menerka-nerka reaksi mereka yang sesungguhnya dari balasan chat beserta emoticon yang dikirim. Nggak ada yang bisa menjamin juga apakah chat yang dikirim benar-benar menggambarkan perasaan mereka.
Yang perlu kamu garisbawahi adalah hal terpenting dari hubungan adalah kualitas bukan kuantitas. Jumlah teman di Facebook atau followers di Instagrammu nggak benar-benar menjamin kalau kamu punya banyak teman.
Bahkan, beberapa penelitian mengungkapkan semakin banyak koneksimu di dunia maya, maka semakin tinggi tingkat stres yang mungkin kamu alami. Salah satu faktor penyebabnya adalah komunikasi yang kamu jalin dengan teman-temanmu di media sosial disamaratakan. Jadi, secara nggak langsung cara kamu berkomunikasi dengan teman nongkrongmu di kampus juga sama dengan om/tantemu yang berteman denganmu di sana.
Kata peneliti, kebanyakan orang mengecek ponsel mereka setiap 35-74 kali dalam sehari. Anak-anak muda mungkin lebih banyak lagi frekuensinya. Pemandangan umum yang sering kita lihat adalah bagaimana semua orang nggak lagi bertatapan mata secara intens ketika mengobrol.
Bunyi notifikasi ponsel entah itu chat atau e-mail yang masuk membuyarkan konsentrasi kita dengan orang yang ada di depan mata. Sebagian dari kita juga lebih menunjukkan ketertarikannya untuk mengecek kabar terbaru orang lain lewat media sosial daripada menanyakannya langsung. Duh!
Video call dengan keluarga di luar negeri atau mengerjakan deadline pekerjaan dari kamar adalah dua keuntungan yang kita dapatkan dari keberadaan internet. Tanpa harus keluar dari rumah dan menempuh perjalanan jauh kita sudah bisa melakukan semua itu.
Tapi, yang perlu disadari adalah komunikasi antara dunia nyata dan dunia mata itu nggak sama. Pertemuan keluarga atau meeting yang kamu hadiri secara langsung tentunya bisa membantu orang sekitarmu untuk lebih memahami apa maksudmu. Segala konteks yang ingin kamu sampaikan nggak akan menjadi ambigu kalau dibicarakan secara langsung. Selain itu, nggak baik juga rasanya terus mengisolasi dirimu dari interaksi sosial.
Memang dibutuhkan usaha yang lebih untuk berkomunikasi dengan tatap muka. Tapi hal ini tetap penting untuk dilakukan karena rasa kesepian itu nyata dan bisa memengaruhi kesehatan mentalmu juga. Jadi, coba deh, sesekali ajak teman dekatmu curhat sambil ngopi. Percakapan kalian pasti akan lebih hangat dan mendalam dibandingkan hanya saling menjawab lewat sticker Line.
Saat kamu membaca tulisan ini, Bela, mungkin kamu juga sedang “melarikan diri” dari kehidupan nyata. Jadi, jangan lupa untuk menengok keadaan sekitar dan letakkan ponselmu sesekali, ya!
Penulis : Tyas Hanina
